Pada Pemilu pertama yang digelar 29 September 1955, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ikut memberikan suaranya. Bung Karno antre bersama-sama masyarakat di salah satu TPS di Merdeka Utara depan Istana.
Sementara sahabatnya, Bung Hatta dan Nyonya Rahmi Hatta menanti menanti giliran di gedung Olahraga Ikada (kini Monas), berseberangan dengan Istana Wakil Presiden di Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Kedua suami istri itu berbaur dengan rakyat, duduk di kursi sederhana menanti panggilan petugas TPS.
Pemilu 1955 yang multipartai itu, sejauh ini diberitakan paling jujur dan bersih dibandingkan pemilu-pemilu di masa Orde Baru. Tidak ada politik uang dan manipulasi suara, sementara presiden dan wakil presiden bersikap netral.
Presiden dan wakilnya tidak melakukan intervensi untuk memenangkan pilihannya. Meski demikian, pemilu 61 tahun silam itu tidak lepas dari saling kritik, serang-menyerang dengan kata-kata, debat di mimbar-mimbar, dan polemik di koran-koran. Televisi belum nongol saat itu.
Suami Istri Bercerai karena Beda Partai
Saling mengkritik yang disertai saling mengejek, terutama terjadi antara partai Islam Masyumi dan PKI. Sampai ada rumah tangga yang bercerai karena sang istri yang fanatik Masyumi tidak sudi suaminya yang pengikut komunis.
Surat-surat kabar di masa demokrasi liberal itu berorientasi pada partai politik. Seperti, Abadi (Masyumi), Suluh Indonesia (PNI), Harian Rakyat (PKI), dan Duta Masyarakat (NU). Ada juga Bintang Timur (Partindo), Pedoman, Indonesia Raya, dan Keng Po (PSI) serta Sin Po (kelompok kiri).
Kita dapat mengetahui seseorang itu dari partai mana saat melihat surat kabar apa yang dibacanya. Karena anggota dan simpatisan parpol sangat fanatik terhadap surat kabar yang menjadi organ partainya.
Hampir seluruh pimpinan partai politik terjun ke tengah masyarakat. Termasuk mendatangi kampung-kampung mengajak masyarakat memilih partainya.
Singa Podium Masyumi, PKI, dan PNI
Seperti Mohamad Natsir, Dr Sukiman, Syafrudin Prawiranegara, dan KH Isa Ansyari yang dikenal sebagai singa mimbar. Dari NU tercatat nama Idham Chalid, KH Wahab Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.
Sementara PNI memiliki jagoan seperti Sudiro dan Suwiryo. Dan tentu saja PKI diwakili DN Aidit, MH Lukman, dan Nyoto.
Meskipun suhu politik cukup panas karena saling serang dengan kata-kata, tidak sampai menimbulkan insiden. Seperti, saat kampanye di Lapangan Banteng, jurkam dari PKI berseru jangan memilih Masyumi nanti Lapangan Banteng diganti jadi lapangan unta.
Beberapa hari kemudian, ketika giliran Masyumi berkampanye di tempat sama. Mereka pun berseru, "Jangan pilih PKI nanti Lapangan Banteng diubah jadi lapangan merah."
Sementara sahabatnya, Bung Hatta dan Nyonya Rahmi Hatta menanti menanti giliran di gedung Olahraga Ikada (kini Monas), berseberangan dengan Istana Wakil Presiden di Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Kedua suami istri itu berbaur dengan rakyat, duduk di kursi sederhana menanti panggilan petugas TPS.
Pemilu 1955 yang multipartai itu, sejauh ini diberitakan paling jujur dan bersih dibandingkan pemilu-pemilu di masa Orde Baru. Tidak ada politik uang dan manipulasi suara, sementara presiden dan wakil presiden bersikap netral.
Presiden dan wakilnya tidak melakukan intervensi untuk memenangkan pilihannya. Meski demikian, pemilu 61 tahun silam itu tidak lepas dari saling kritik, serang-menyerang dengan kata-kata, debat di mimbar-mimbar, dan polemik di koran-koran. Televisi belum nongol saat itu.
Suami Istri Bercerai karena Beda Partai
Saling mengkritik yang disertai saling mengejek, terutama terjadi antara partai Islam Masyumi dan PKI. Sampai ada rumah tangga yang bercerai karena sang istri yang fanatik Masyumi tidak sudi suaminya yang pengikut komunis.
Surat-surat kabar di masa demokrasi liberal itu berorientasi pada partai politik. Seperti, Abadi (Masyumi), Suluh Indonesia (PNI), Harian Rakyat (PKI), dan Duta Masyarakat (NU). Ada juga Bintang Timur (Partindo), Pedoman, Indonesia Raya, dan Keng Po (PSI) serta Sin Po (kelompok kiri).
Kita dapat mengetahui seseorang itu dari partai mana saat melihat surat kabar apa yang dibacanya. Karena anggota dan simpatisan parpol sangat fanatik terhadap surat kabar yang menjadi organ partainya.
Hampir seluruh pimpinan partai politik terjun ke tengah masyarakat. Termasuk mendatangi kampung-kampung mengajak masyarakat memilih partainya.
Singa Podium Masyumi, PKI, dan PNI
Seperti Mohamad Natsir, Dr Sukiman, Syafrudin Prawiranegara, dan KH Isa Ansyari yang dikenal sebagai singa mimbar. Dari NU tercatat nama Idham Chalid, KH Wahab Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.
Sementara PNI memiliki jagoan seperti Sudiro dan Suwiryo. Dan tentu saja PKI diwakili DN Aidit, MH Lukman, dan Nyoto.
Meskipun suhu politik cukup panas karena saling serang dengan kata-kata, tidak sampai menimbulkan insiden. Seperti, saat kampanye di Lapangan Banteng, jurkam dari PKI berseru jangan memilih Masyumi nanti Lapangan Banteng diganti jadi lapangan unta.
Beberapa hari kemudian, ketika giliran Masyumi berkampanye di tempat sama. Mereka pun berseru, "Jangan pilih PKI nanti Lapangan Banteng diubah jadi lapangan merah."