PARTAI KOMUNIS INDONESIA : Pada awalnya, ketika mengemukakan gagasan mengenai paham komunis, Karl Marx tidak berbicara masalah negara. Sebab menurut Marx hancurnya Kapitalisme untuk kemudian digantikan dengan Komunisme adalah sebuah proses alamiah. Marx hanya berbicara mengenai masyarakat. Ketika gagasan Marx ini ditangkap oleh Lenin, seorang tokoh Komunis Rusia yang menggantikan posisi Marx, barulah komunisme berubah menjadi sebuah ideologi politik yang bertugas untuk mengakselerasi perubahan negara dari negara kapitalis menjadi negara komunis.
Menurut Lenin, kelas buruh hanya bisa menjadi kelas buruh yang sadar jika dipimpin oleh sebuah parta revolusioner Marxis-Leninis. Partai ini dikendalikan dengan disiplin militer dan “sentralisme-demokratis.” Keanggotaan partai dikontrol ketat dan semua anggota partai harus menjalankan disiplin partai, mereka tidak boleh menentang garis-partai secara public kecuali hanya melalui perdebatan internal di tingkat pengurus partai. Koran partai memainkan peran utama untuk membentuk opini public. Partai sendiri mempercepat gerakannya pada organisasi-organisasi front, yang bertindak seolah-olah independen tetapi pada kenyataannya dikontrol partai (As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, Gerakan-gerakan Sosial-Politik Dalam Tinjauan Ideologis. Jakarta: LP3ES, 2012. hal. 6). Gerakan ini mengalami pasang surut, meski demikian, gerakan komunis telah memberikan dampak yang cukup besar bagi jalannya perpolitikan di dunia, termasuk di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan, sesudah kemerdekaan maupun pasca gerakan reformasi tahun 1998.
Lahir dan berkembangnya gerakan komunis di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sebuah organisasi yang bernama ISDV (Indische Sociaal-democratische Vereeniging). Organisasi kaum sosialis Belanda yang pada mulanya merupakan klub debat kecil diantara sesama anggota mereka. Klub ini didirikan oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet di Semarang pada bulan Mei 1914 (Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1926. Jakarta: Grafiti, 1997. hlm. 133). Karena anggotanya mayoritas adalah orang-orang Eropa, Sneevliet dan kawan-kawannya merasa sangat sulit untuk mengembangkan organisasi tersebut, karena orang pribumi bersifat antipati trerhadap nama yang berbau Eropa. Oleh karena itu, mereka berupaya untuk bersekutu dengan gerakan yang lebih besar dan yang dapat bertindak sebagai jembatan kepada massa rakyat Indonesia (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Hlm. 198).
Hal ini dilakukan ketika pada tahun 1916, H.J.M. Sneevliet aktif dalam Vereniging Spoor en Tramweg-Personeel (VSTP) atau Sarekat Buruh Kereta Api dan Trem. Dari organisasi ini dibinalah Samaoen, seorang buruh kereta api pindahan dari Surabaya yang baru berusia 17 tahun (lahir 1899 M), sebagai kader. Selanjutnya pada tahun 1916, Darsono (lahir 1897 M), usia 19 tahun, Alimin Prawirodirdjo (1889 – 1964), usia 27 tahun, dan Tan Malaka (1897 – 1949 M), usia 19 tahun, menjadi kader ISDV dan VSTP4. Pada awalnya Samaoen, Darsono dan Alimin adalah anak buah H.O.S. Cokroaminoto, mereka terdaftar sebagai anggota Central Sarikat Islam (CSI) di Surabaya sejak 1915. Ketika H.J.M. Sneevliet ditarik ke Belanda pada tahun 1918, Samaoen menggantikannya menjadi ketua ISDV (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid I cet. V, Bandung: Salammadani, 2012. hlm.409-410).
Apa yang dilakukan Sneevliet dengan mengkader tiga murid Cokroaminoto tersebut adalah proses menginfiltrasi Sarekat Islam yang waktu itu merupakan salah satu gerakan politik yang disegani. Tidak hanya di Sarekat Islam, Sneevliet juga menginfiltrasikan anggota ISDV Mr. Brandsteder ke dalam serdadu angkatan laut Belanda dan Ir. Baars, Van Burink ke kalangan pegawai negeri berkebangsaan Belanda (Ahmad Mansur, Idem, hlm. 410).
Dengan posisinya sebagai ketua ISDV, maka Samaoen merasa sederajat dengan pemimpin Centraal Sjarekat Islam (CSI), apalagi pada saat itu mulai terdengar isu-isu Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Dengan posisi psikologis seperti itu dapat dipahami mengapa dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam keempat, kelompok kader ISDV mulai berani menyerang pimpinan CSI: Oemar Said Cokroaminoto, Abdoel Moeis, Agoes Salimdan Soerjopranoto. Mereka berusaha mengganti ideologi Islam dengan Marxist (Pringgodigdo,Mr. A.K, Sedajarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Djakarta : Pustaka Rakjat, 1960. hlm. 38). Imbas sikap ini akhirnya menjadikan Centraal Sjarikat Islam terpecah menjadi dua. CSI Putih yang dipimpin Cokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdoel Moeis, dan di sisi lain CSI Merah yang dipimpin Samaoen. Pada tanggal 23 Mei 1920 berdirilah Perserikatan Kommunist di India (PKI) (Ahmad Mansur, Idem, hlm. 410). Tujuh bulan kemudian partai ini mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia, dengan Samaoen sebagai ketuanya.
Partai Komunis Indonesia yang dipimpin Samaoen gerakan model kota pembelah (wig politiek), pemutus kontak politik pimpinan Central Sjarikat Islam Surabaya Jawa Timur dengan pimpinan dan massa pendukung Central Sjarikat Islam Bandung, Jawa Barat. Dampak selanjutnya, yang ditargetkan adalah terputusnya kontak politik dengan daerah luar Jawa sebagai wilayah kerja Central Sjarikat Islam, yakni Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Dengan demikian, terlihat jelas, tujuan para peletak dasar ISDV seperti H.J.M. Sneevliet, J.A. Brandseder, P. Bergsma dan A. Baars, tidaklah murni. Melalui gerakan mereka, pemerintah Belanda berhasil membelah CSI dari dalam. Hal ini juga bisa dibaca dari sikap H.J.M. Sneevliet yang menentang tuntutan Sjarikat Islam, Indonesia Merdeka atau Indonesia Berpemerintahan Sendiri. Sneevliet menyatakan, apabila Indonesia Merdeka, akan berdampak buruh Belanda banyak yang menganggur (Ahmad Mansur, Idem, hlm. 412-413).
Krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1920 memberikan lahan yang subur bagi pertumbuhan PKI. Prinsip pertentangan kelas yang dianut PKI mendapatkan basisnya di tengah-tengah kemiskinan masyarakat. Dalam propaganda politiknya, ideologi komunis menempatkan kaum proletar (masyarakat miskin dan kaum buruh) serta masalah yang menimpa kelas tersebut sebagai isu utama perjuangan. Dalam kondisi krisis tersebut, PKI berhasil menggalang massa untuk melakukan tindakan-tindakan radikal dan revolusioner. Pemogokan-pemogokan pegawai pegadaian pada tahun 1922, pemogokan buruh kereta api pada tahun 1923 merupakan aksi PKI untuk menghadapi krisis tersebut. Titik kulminasi dari radikalisme ini tercapai pada pemberontakan komunis pada tahun 1926 di Jakarta, disusul dengan tindakan-tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Poesponegoro dkk, Idem, hlm. 208).
Sebagai jawaban terhadap aktivitas-aktivitas yang revolusioner itu, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat keras. Penahanan secara besar-besaran dilakukan, ribuan orang yang dicurigai dipenjarakan, banyak diantara mereka yang dibuang atau ditawan. Hak mengadakan pertemuan dibatasi dan pers disensor dengan cermat. Pertemuan-pertemuan harus dihadiri oleh anggota-anggota polisi yang diberi kekuasaan untuk membubarkan apabila pertemuan itu dianggap membahayakan ketentraman umum (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: Gramedia, 1999. hlm. 61-62).
Artikel ini merupakan bagian dari makalah ilmiah berjudul: Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasca Reformasi Indonesia
Penulis: Arif Wibowo – Koordinator Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
Menurut Lenin, kelas buruh hanya bisa menjadi kelas buruh yang sadar jika dipimpin oleh sebuah parta revolusioner Marxis-Leninis. Partai ini dikendalikan dengan disiplin militer dan “sentralisme-demokratis.” Keanggotaan partai dikontrol ketat dan semua anggota partai harus menjalankan disiplin partai, mereka tidak boleh menentang garis-partai secara public kecuali hanya melalui perdebatan internal di tingkat pengurus partai. Koran partai memainkan peran utama untuk membentuk opini public. Partai sendiri mempercepat gerakannya pada organisasi-organisasi front, yang bertindak seolah-olah independen tetapi pada kenyataannya dikontrol partai (As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, Gerakan-gerakan Sosial-Politik Dalam Tinjauan Ideologis. Jakarta: LP3ES, 2012. hal. 6). Gerakan ini mengalami pasang surut, meski demikian, gerakan komunis telah memberikan dampak yang cukup besar bagi jalannya perpolitikan di dunia, termasuk di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan, sesudah kemerdekaan maupun pasca gerakan reformasi tahun 1998.
Lahir dan berkembangnya gerakan komunis di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sebuah organisasi yang bernama ISDV (Indische Sociaal-democratische Vereeniging). Organisasi kaum sosialis Belanda yang pada mulanya merupakan klub debat kecil diantara sesama anggota mereka. Klub ini didirikan oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet di Semarang pada bulan Mei 1914 (Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1926. Jakarta: Grafiti, 1997. hlm. 133). Karena anggotanya mayoritas adalah orang-orang Eropa, Sneevliet dan kawan-kawannya merasa sangat sulit untuk mengembangkan organisasi tersebut, karena orang pribumi bersifat antipati trerhadap nama yang berbau Eropa. Oleh karena itu, mereka berupaya untuk bersekutu dengan gerakan yang lebih besar dan yang dapat bertindak sebagai jembatan kepada massa rakyat Indonesia (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Hlm. 198).
Hal ini dilakukan ketika pada tahun 1916, H.J.M. Sneevliet aktif dalam Vereniging Spoor en Tramweg-Personeel (VSTP) atau Sarekat Buruh Kereta Api dan Trem. Dari organisasi ini dibinalah Samaoen, seorang buruh kereta api pindahan dari Surabaya yang baru berusia 17 tahun (lahir 1899 M), sebagai kader. Selanjutnya pada tahun 1916, Darsono (lahir 1897 M), usia 19 tahun, Alimin Prawirodirdjo (1889 – 1964), usia 27 tahun, dan Tan Malaka (1897 – 1949 M), usia 19 tahun, menjadi kader ISDV dan VSTP4. Pada awalnya Samaoen, Darsono dan Alimin adalah anak buah H.O.S. Cokroaminoto, mereka terdaftar sebagai anggota Central Sarikat Islam (CSI) di Surabaya sejak 1915. Ketika H.J.M. Sneevliet ditarik ke Belanda pada tahun 1918, Samaoen menggantikannya menjadi ketua ISDV (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid I cet. V, Bandung: Salammadani, 2012. hlm.409-410).
Apa yang dilakukan Sneevliet dengan mengkader tiga murid Cokroaminoto tersebut adalah proses menginfiltrasi Sarekat Islam yang waktu itu merupakan salah satu gerakan politik yang disegani. Tidak hanya di Sarekat Islam, Sneevliet juga menginfiltrasikan anggota ISDV Mr. Brandsteder ke dalam serdadu angkatan laut Belanda dan Ir. Baars, Van Burink ke kalangan pegawai negeri berkebangsaan Belanda (Ahmad Mansur, Idem, hlm. 410).
Dengan posisinya sebagai ketua ISDV, maka Samaoen merasa sederajat dengan pemimpin Centraal Sjarekat Islam (CSI), apalagi pada saat itu mulai terdengar isu-isu Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Dengan posisi psikologis seperti itu dapat dipahami mengapa dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam keempat, kelompok kader ISDV mulai berani menyerang pimpinan CSI: Oemar Said Cokroaminoto, Abdoel Moeis, Agoes Salimdan Soerjopranoto. Mereka berusaha mengganti ideologi Islam dengan Marxist (Pringgodigdo,Mr. A.K, Sedajarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Djakarta : Pustaka Rakjat, 1960. hlm. 38). Imbas sikap ini akhirnya menjadikan Centraal Sjarikat Islam terpecah menjadi dua. CSI Putih yang dipimpin Cokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdoel Moeis, dan di sisi lain CSI Merah yang dipimpin Samaoen. Pada tanggal 23 Mei 1920 berdirilah Perserikatan Kommunist di India (PKI) (Ahmad Mansur, Idem, hlm. 410). Tujuh bulan kemudian partai ini mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia, dengan Samaoen sebagai ketuanya.
Partai Komunis Indonesia yang dipimpin Samaoen gerakan model kota pembelah (wig politiek), pemutus kontak politik pimpinan Central Sjarikat Islam Surabaya Jawa Timur dengan pimpinan dan massa pendukung Central Sjarikat Islam Bandung, Jawa Barat. Dampak selanjutnya, yang ditargetkan adalah terputusnya kontak politik dengan daerah luar Jawa sebagai wilayah kerja Central Sjarikat Islam, yakni Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Dengan demikian, terlihat jelas, tujuan para peletak dasar ISDV seperti H.J.M. Sneevliet, J.A. Brandseder, P. Bergsma dan A. Baars, tidaklah murni. Melalui gerakan mereka, pemerintah Belanda berhasil membelah CSI dari dalam. Hal ini juga bisa dibaca dari sikap H.J.M. Sneevliet yang menentang tuntutan Sjarikat Islam, Indonesia Merdeka atau Indonesia Berpemerintahan Sendiri. Sneevliet menyatakan, apabila Indonesia Merdeka, akan berdampak buruh Belanda banyak yang menganggur (Ahmad Mansur, Idem, hlm. 412-413).
Krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1920 memberikan lahan yang subur bagi pertumbuhan PKI. Prinsip pertentangan kelas yang dianut PKI mendapatkan basisnya di tengah-tengah kemiskinan masyarakat. Dalam propaganda politiknya, ideologi komunis menempatkan kaum proletar (masyarakat miskin dan kaum buruh) serta masalah yang menimpa kelas tersebut sebagai isu utama perjuangan. Dalam kondisi krisis tersebut, PKI berhasil menggalang massa untuk melakukan tindakan-tindakan radikal dan revolusioner. Pemogokan-pemogokan pegawai pegadaian pada tahun 1922, pemogokan buruh kereta api pada tahun 1923 merupakan aksi PKI untuk menghadapi krisis tersebut. Titik kulminasi dari radikalisme ini tercapai pada pemberontakan komunis pada tahun 1926 di Jakarta, disusul dengan tindakan-tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Poesponegoro dkk, Idem, hlm. 208).
Sebagai jawaban terhadap aktivitas-aktivitas yang revolusioner itu, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat keras. Penahanan secara besar-besaran dilakukan, ribuan orang yang dicurigai dipenjarakan, banyak diantara mereka yang dibuang atau ditawan. Hak mengadakan pertemuan dibatasi dan pers disensor dengan cermat. Pertemuan-pertemuan harus dihadiri oleh anggota-anggota polisi yang diberi kekuasaan untuk membubarkan apabila pertemuan itu dianggap membahayakan ketentraman umum (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: Gramedia, 1999. hlm. 61-62).
Artikel ini merupakan bagian dari makalah ilmiah berjudul: Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasca Reformasi Indonesia
Penulis: Arif Wibowo – Koordinator Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
Post A Comment:
0 comments: